RSS

WAYANG NGGEMBLUNG DI WAYANG CUMPLUNG

Gamelan yang ditabuh, segera saja menyita perhatian. Orang-orang berduyun-duyun, menghampiri tempat darimana suara tabuhan berasal. Beberapa di antara mereka menggendong anak kecil setengah mengantuk. Namun ada pula anak-anak dengan binar mata antusias, melangkahkan kaki kecilnya turut mencari asal suara. Pencarian pun berakhir, mereka menemukan sebuah panggung kecil, yang hanya setinggi setengah meter. Dari sanalah, suara gamelan muncul menyibak sepinya malam di Desa Kebocoran, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas. Panggung yang berada di bawah tenda pernikahan, terlihat terang disinari lampu. Nampak di ujung panggung, batang pohon pisang menjulur horisontal. Di atasnya, wayang-wayang dari batok kelapa berderet menancap. Batok kelapa diberi warna dan diberi karakter wajah manusia. Tak lupa, diberi baju lengkap seperti boneka yang digunakan sebagai media dalam seni cowongan. Inilah pertunjukkan wayang cumplung bertajuk ‘Temuruning Widadari’, hasil karya Padepokan Cowong Sewu Syekh Gugah. Menurut Titut Edy Purwanto, pemimpin Padepokan Cowong Sewu, wayang cumplung memakai bahasa banyumasan yang santun, tapi ngapak. Ini merupakan gabungan dari beberapa seni, mulai dari lengger, musik Banyumasan, dan wayang dengan suluk Banyumasan. Pertunjukkan wayang dibuka dengan kalimat pembuka dari Syekh Gugah alias Titut sendiri. Nama Syekh Gugah digunakan untuk menggugah masyarakat agar kembali berilmu. Artinya berani menggugah agar kehidupan lebih berisi lagi, bukan seperti cumplung, kelapa yang dari luar bagus, tapi ternyata isinya kosong. Menurutnya, manusia saat ini, seperti cumplung. Berpenampilan baik, namun otaknya kosong dengan melakukan berbagai hal yang buruk dan bahkan merugikan orang lain. Dalang wayang cumplung malam itu, adalah Trisman. Setelah penyerahan kukusan simbolisasi gunungan dalam wayang oleh Syekh Gugah, pertunjukkan pun dimulai. Trisman memainkan gunungan dan para wayang, sembari sesekali melempar lelucon yang disambut tawa oleh penonton. Pertunjukkan makin menarik, ketika wayang-wayang dari batok kelapa dilempar ke bawah. Lalu tak lama kemudian berubahlah karakter dalam cerita wayang menjadi manusia-manusia asli. Gendon, Panjul, Lawen, dan Ki Sarayajati menjadi empat tokoh pertama berwujud manusia yang muncul di atas panggung. Penonton semakin antusias, semakin malam semakin banyak pula yang berdatangan. Apalagi dengan munculnya Gendon yang berkarakter lucu dan semaunya sendiri. Tak hanya Gendon, tiga karakter lainnya lama-kelamaan mengambil alih cerita, hingga dalang tak berdaya. “Ini wayang cumplung, wayange nggemblung, dalange bingung,” ujar Titut. Maka tak ayal, wayang manusia itu semakin menggila, hingga sempat membuat sang dalang kesal. Tawa penonton pun berderai. Mata mereka tetap terjaga walau malam telah larut, meski cerita yang diangkat cukup sederhana. Lawen, Panjul, Gendon, dan Ki Sarayajati mencari cara bagaimana agar bidadari dapat turun untuk menjadi saksi sebuah pernikahan dua anak manusia. Ki Gede Wasitajati dari Padepokan Cowong Sewu menyarankan memakai sarana kembar mayang, agar bidadari bisa turun ke bumi. Tak lupa, Ki Gede Wasitajati memberi piwulang untuk calon pengantin. Tentang mencintai pasangan, keluarga, dan agama hingga cinta terhadap negeri. Pementasan kali ini memang digelar sebagai hiburan dalam acara perkawinan. Oleh karena itu, meski nggemblung, wayang cumplung tak lepas dari pesan-pesan yang penuh dengan makna kebaikan, untuk kedua mempelai maupun para penonton. Wayang hasil kreasi Titut sejak tahun 2008 ini memang bertujuan untuk membawa pesan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Maka dari itu, tak berlebihan jika wayang cumplung disebut paket komplit sebuah seni pertunjukan. Melestarikan seni budaya Banyumasan, sekaligus penggugah kehidupan agar lebih penuh makna.(*)

0 komentar:

Posting Komentar